Wednesday 28 June 2017

Mencari Ahlus Sunnah wal Jamaah

Saat ini saya berada di persimpangan untuk memilih apakah bertahan atau keluar dari sebuah kelompok da'wah Islam. Saya masih mencari kelompok yang benar-benar memiliki idealisme yang sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Jika kenyataannya belum sesuai, mereka (atau beberapa orang pelopornya) seharusnya mau mengusahakan menegakkannya secara bertahap, mudah ditemui, mudah bermusyawarah, tidak bebal terhadap masukan, mau mengakui kesalahan serta punya keinginan kuat untuk memperbaiki penyimpangan-penyimpangan yang ada. Saya saat ini mencari kembali dengan mulai mengkaji di beberapa tempat... Jika ada teman-teman yang membaca post ini dan telah menemukannya, kabari saya, ya...

Nah, bagaimana mengecek apakah seseorang atau suatu kelompok itu sesuai dengan Sunnah Rasulullah saw atau tidak? Sepertinya kita bisa mencontoh metode Raja Romawi yang disalin dari kisah Abu Sufyan di HR Bukhari no. 2723 berikut ini:

Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhu berkata; Abu Sufyan bin Harb bercerita kepadaku bahwa saat itu dia sedang berada di negeri Syam bersama orang-orang Quraisy yang mengunjungi negeri itu dalam rangka berdagang pada masa (perdamaian/berlangsungnya gencatan senjata) antara Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan orang-orang kafir Quraisy, Abu Sufyan berkata: "Maka utusan Qaishar menemui kami ketika kami berada di Syam lalu dia berangkat mengajak aku dan teman-temanku hingga ketika kami sampai di negeri Iyliya' kami dipersilahkan masuk menemui Qaishar yang saat itu sedang duduk di majelis kerajaannya sedang dia mengenakan mahkota sementara di sekelilingnya ada para pembesar kerajaan Romawi. 

1. Tanya orang terdekat
Maka dia berkata kepada penterjemahnya: "Tanyakanlah kepada mereka siapa diantara mereka yang paling dekat nasab (hubungan darahnya) dengan laki-laki yang mengaku dirinya sebagai Nabi tersebut". Abu Sufyan berkata; maka aku katakan: "Akulah orang yang paling dekat nasabnya ". Dia bertanya: "Apa hubungan nasab kamu dengan dia?" Aku jawab: "Dia adalah anak dari pamanku". Dan saat itu memang tidak ada seorangpun dari keturunan Bani 'Abdu Manaf selain aku. Lalu Qaishar berkata lagi: "Dekatkanlah dia kepadaku". Lalu dia memerintahkan teman-temanku dan menjadikan mereka berada di belakangku berbaris dekat bahuku. 

2. Cek apakah dia/kelompok tersebut suka berdusta atau tidak
Kemudian dia berkata kepada penterjemahnya: "Katakanlah kepada teman-temannya bahwa aku bertanya kepada orang ini tentang laki-laki yang mengaku dirinya sebagai Nabi. Bila dia berdusta maka kalian dustakanlah dia". Abu Sufyan berkata: "Demi Allah, seandainya pada saat itu bukan karena rasa malu yang akan berdampak buruk terhadap teman-temanku (bila berdusta) pasti aku sudah berdusta ketika dia bertanya tentang dia (Nabi shallallahu 'alaihi wasallam). Akan tetapi aku malu bila kemudian memberikan citra buruk kepada mereka tentang kedustaan sehingga aku membenarkannya". 

Jujur, langkah pertama untuk menjadi seorang Muslim, langkah pertama untuk masuk surga.


Di Ramadhan tahun ini (1438 H) saya dikagetkan oleh sebuah fakta bahwa akreditasi yang dilakukan di tempat kerja saya saat ini di Jakarta, menggunakan data dan fakta yang tidak sebenarnya. Yang paling mengagetkan lagi, instruksi penggunaan data dan fakta palsu tersebut datang dari seseorang yang memakai atribut-atribut (seperti pakaian, ucapan) yang sangat islami dalam kehidupan sehari-hari. Sungguh mengecewakan, orang yang nampak islami dan membawa nama islam malah memimpin rekan-rekan kerjanya untuk melakukan pemalsuan data. Apapun alasannya, itu tetap saja dusta di mata saya, dan juga di mata Allah. Nilai akreditasi yang diperoleh tidak akan halal dan barokah, dan prosesnya tidak akan mendatangkan pertolongan Allah. Baik atasan maupun bawahan, keduanya menanggung dosa. Untuk atasan, mengapa menginstruksikan bawahannya untuk melakukan kebohongan? Untuk bawahan, mengapa menurut saja ketika disuruh untuk memalsukan data? Bukankah anda bisa menolak? Lalu untuk apa kalian shaum?
"Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan palsu dan pengamalannya, maka Allah tidak butuh ia meninggalkan makan dan minumnya" (Hadits Riwayat Abu Daud no. 2015, hadits serupa juga terdapat di Bukhari no. 1770, Bukhari no. 5597, Tirmizi no. 641.)

Integrity, Grit and Independence

Should wealthy nations be required to share their wealth among poorer nations by providing such things as food and education? Or is it the responsibility of the governments of poorer nations to look after their citizens themselves?

It is argued that wealthy nations be required to distribute their remaining wealth to poorer countries such as food and education, and there is opposing argument that the governments of poorer nations have responsibility to take care their citizens themselves. Responding these issues, I have an opinion that wealthy nations are not required to share their wealth, but they should share their knowledge, character and capabilities at a national level to poorer countries to overcome difficult and complicated situations, for example, trapped in an enormous debt with its large annual interests.

The most important thing which wealthy countries should do is to share the character such as integrity, grit and independence. So the character has a higher degree than knowledge which is common to be shared in education, as well as a well-known proverb: "knowledge is power, but the character is more". A great character will help poorer nations bring their citizens, and financial conditions meet the better terms. Japan had overcome their buried conditions after the bomb of World War II in Hiroshima and Nagasaki. After several decades, Japan has advanced technological capabilities among countries in Asia. At the other continent, Saudi Arabia has their own stories on how to change their foul character in the 7th century, and in the 14th century become the most civilised and cultured nation because of Islam.

Friday 9 June 2017

Working Mum at Home

The position of women in society has changed markedly in the last twenty years. Many of the problems young people now experience, such as juvenile delinquency, arise from the fact that many married women now work and are not at home to care for their children. To what extent do you agree or disagree with this opinion?

There is an argument that many of the problems of young people are caused by many married women working and not looking care for their children. Responding this allegation, I agree that the mother should not take full-time employment to have enough time to care for their children, but I do not agree that the working mum is only the cause of the problems of young people.

Monday 5 June 2017

Tentang Maryam, Wanita Berpendidikan Terbaik

Sejak tahun 2008-2009, saya ingin mencontoh tokoh-tokoh teladan Islam yang salah satunya adalah Maryam, wanita yang diberi gelar wanita sempurna dalam sebuah hadits Rasulullah saw. Nah saat itu terbersit pertanyaan, apakah Maryam itu kuliah? Kuliah jurusan apa? Setelah itu apa pekerjaannya, ibu rumah tangga atau ibu bekerja? Hehe.. Maklum saat itu sedang mulai bingung-bingungnya mencari tujuan kuliah.

Setelah pertanyaan itu tidak terjawab dan datang asumsi bahwa Maryam adalah sosok wanita introvert yang terkurung dalam kamarnya, tidak kuliah dan juga tidak bekerja, menerima makanan begitu saja di kamarnya -- selama bertahun-tahun -- dan setelah menikah dan mempunyai anak, sekarang saya ingin mencari lagi tentang Maryam, dan lalu menemukan artikel menarik di sini :

Dalm artikel tersebut dikatakan bahwa ditemukan di banyak tempat di dalam Al-Qur'an, bahwa Maryam adalah the best educated woman of her day, wanita dengan pendidikan terbaik pada jamannya. Dan ternyata Maryam sempat berkuliah di Kuil Jerusalem, universitas top pada zaman itu untuk disiapkan menjadi sosok yang siap menerima perkataan Allah dan siap juga mengedukasi anaknya. Maryam adalah sosok ibu yang mengerti seluruh Injil dalam bahasa Ibrani dan membacakannya kepada anaknya, nabi Isa. Layaknya ulama dan ibunda ulama (bahkan nabi).